Aku ingin sendiri
Menghentikan semua aktifitas
Menjauh dari segala kebisingan
Pergi lalu bersembunyi
Seperti menghilang sesaat
Dari kehidupan
Menyatu dengan kesunyian
Hanya bertiga
Aku, diriku, dan saya...
Tak terasa 8 tahun telah berlalu. Kamu yang dulu disampingku kini sudah tiada. Sore ini, aku bagai insan tanpa rasa. Berangan – angan jauh mencapai sejuta kedamaian. Bertemankan dua kaki dalam pelukan. Butir – butir hujan bertebaran di pandanganku. Angin kencang berkecamuk di sekelilingku dan halilintar yang tiada henti. Namun semangatku tidak surut untuk selalu menyendiri. Menikmati kisah kita di masa lalu. Karena hanya dengan begini aku bisa merasakan kalau kamu masih ada.
Aku tak peduli seberapa konyol kehidupanku sekarang. Karena kuyakin, ini hanyalah ilusi yang tiada berarti. Kamu tak pernah tahu bagaimana aku menjalani hari – hari tanpamu. Bersahabat dengan sepi, sunyi, dan kegelapan malam. Kamu juga tak pernah tahu. Betapi gulitanya bumi ini tanpamu. Semua ini lebih dari menakutkan.
Kamu tahu. Air sungai itu. Tempat kita dulunya beradu kasih. Kini telah mengering. Hanya mengalir ketika hujan lebat turun. Itulah mengapa aku ada disini.
Orang – orang disini sudah menganggapku gila. Masa bodoh! Mereka pikir mereka siapa. Aku butuh pencahayaan, Ram. Cahayamu. Cahaya yang pernah menyinari hatiku yang tandus. Mungkin dengan begitu aku akan sedikit lebih waras. Dan mereka tidak akan menertawaiku lagi. .
Dalam lamunan ini. Kamu masih jelas terlihat di memori ingatanku. Berlabuh di benak yang penuh belukar. Terjebak dan tak bisa lepas. Itulah kamu yang masih terpenjara dalam jiwaku. Bagaikan nafas yang berhembus. Bagikan darah yang mengalir. Menjadi bagian dari diriku. Bukan kamu. Tapi akulah sebenarnya yang terpenjara. Dalam tangisanku. Pedih.
Sesak kian dadaku mengenangmu yang kini telah damai di alam sana. Dahulu, kamu yang berjanji untuk selalu setia di sampingku, hidup, dan menjadi bagian dari masa depanku. Semuanya berubah 180 derajat. Lapar, haus, dan serba kekukarangan. Inilah episodeku. Maafkan aku. Aku tak cukup kuat untuk menjadikan bunga – bunga di taman kita kembali mekar.
***
Waktu itu aku sangat ketakutan. Bukan karena getaran kuat yang menggoncang bumi. Atau tsunami yang melanda. Tapi, aku takut terpisah darimu dan anak kita. Kesana kemari kamu larikanku bersama anugerah di kandunganku. Begitu gagah kamu di pelupuk mataku wahai pangeranku.
Kamu berusaha menaikkanku ke atap rumah yang tinggi. Yang tidak terjangkau air yang sedang pasang. Tanpa sadar kalau tempat itu hanya muat untuk satu orang saja. Tiba – tiba saja air datang. Menggulung. Menelan seisi Aceh. Tanganmu yang masih erat dalam genggamanku terus kutarik sekuat tenaga. Setelah akhirnya tak berdaya lagi. Lepas walau tak rela.
“Dianah, jaga anak kita” katanya lirih, badannya telah ditelan air keruh.
“Jangan tinggalkan kami, Ram. Aku tak bisa tanpamu. Ram!!!”
“Kamu pasti bisa. Aku akan kembali untukmu dan anak kita”
Kata terakhir yang terdengar sebelum gelombang berperan. Dan kutak bisa lagi berkata apapun. Merintih kesakitan kerena titipan ilahi yang sudah tidak tenang lagi. Tendangannya seolah ingin melihat kepergian ayahnya. Apakah ini pertanda buruk?
Kumenangis sejadi – jadinya. Berteriak minta tolong. Namun, tak satupun mendengar. Hanya beriak air keras yang terdengar seakan mencaciku. Semua terlihat rata. Digenangi air keruh dan benda – benda yang terapung. Tak ada orang maupun burung yang berkicau. Semua lari terbirit – birit.
Hanya tersisa diriku seorang. Semua di usir tanpa perasaan. Secara paksa. Begitu tegakah engkau air bah? Sia – sia saja. Kamu takkan mendengarkanku. Karena kamu hanyalah benda jahat yang tak punya telinga.
Sehari semalam aku berada disana. Menunggu air surut. Bermunajat. Memohon keselamatanku, anakku, dan kamu. Berharap sang malaikat menerbangkanku walau tanpa arah yang pasti.
***
Paginya, air sudah surut. Para warga membantuku untuk turun dari genteng rumah. Muka pucat pasih, lemas, dan lesuh. Badanku mengigil. Warga harus kerepotan lagi mengurusku di tengah musibah itu.
Beberapa hari kemudian aku sudah sehat. Walau belum stabil berjalan namun semua tak mempengaruhiku untuk mencari dirimu. Tak ada sesuatupun yang terlintas di pikiranku kecuali kamu yang tercinta.
Di tengah keramaian warga serta wartawan – wartawan yang meliput berita. Aku berusaha masuk untuk melihat semua korban yang ada. Walau sebenarnya perut sudah tidak memungkinkan lagi menerobos tempat sesempit itu. Tetap kupaksakan.
Satu persatu mayat kubuka. Bau menyengat. Menusuk penciuman. Membuatku mual. Lalu muntah.
“Krakkk...!” suara plastik hitam penutup mayat itu.
Wajahnya sedikit hancur, hitam legam, kaku, dan... Aku mengenalnya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ia adalah laki – laki yang sudah hidup bersamaku. Mengikat janji sehidup semati.
“Inikah suamiku?” ucapku.
Aku tak percaya. Tidak mungkin. Aku pasti sedang bermimpi. Tapi, kenapa? Rasa sakit ini semakin menyesakkan. Dan wajahku telah dibanjiri air mata Pilu.
Ini omong kosong. Kamu pasti hanya pura – pura mati. Lelucon apalagi yang ingin kamu tunjukkan untuk membuatku tertawa. Tidak usah. Ini bukan waktu yang tepat.
“Bangun! Bangun, Ram” kataku sambil menggoyang – goyang badannya. Aku tidak diacuhkan. Sama sekali tidak digubris.
“Kamu bohong, Ram. Kamu tak kembali untukku dan anak kita”
***
Hari ini tepat 8 tahun kamu menjadi penghuni alam lain. Berbahagialah disana. Sampai suatu hari nanti tuhan mempertemukan kita kembali. Di surga – Nya.
“Kamu bisa tanpa aku, sayang...”
Bisikan itu membangunkanku dari lamunan panjang ini. Hujan sudah reda. Awan gelap menyinggir. Tergantikan cahaya mentari dari timur. Terang. Tapi hatiku? Sekarang, aku baru percaya kalau aku telah lama kehilangan dirimu.
------------------------------------------------------------------
SUMBER :
CREATED BY NANDA SUPRIADI SIREGAR
http://sejarahsenisastradanalam.blogspot.com


Tidak ada komentar:
Posting Komentar